Tuesday, December 15, 2020

Karya Syair Jalalludin rumi

Kita menari bukan sebarang tarian
Asalnya dari tanah orang-orang pilihan
Bila terdengar masnawi ciptaan maulana
Ku bunuh nafsu lebur rantainya dari badan

Hingga hilang bangga diri
Berani hidup berani mati
Bagai musafir bertemu janji
Ini Darwis sudah gila berahi

Kita tak rindu pada siasah dunia
Perangkapnya membuat manusia hampa
Untuk bertemu impian bukan percuma
Mengorbankan yang tersangat kita cinta

Bagai Yunus dimakan paus
Ibrahim tak makan api
Bertemu kekasih di malam kudus
Luka di badan tak terasa lagi
Pukullah rebana jantungku bersyairlah maulana
Aku mabuk hakiki mendengar suaramu

Sayang... pada mereka yang tak mengerti
Sayang... pada hati tertutup mati
Bagai sangkar tanpa penghuni
Burung berharga terlepas lari

Rindu (ya maulana)
Kembali bertemu (ya maulana)
Hatiku merindukan pemiliknya (ya maulana)
Rindu (ya maulana)
Kembali bersatu (ya maulana)
Kembali bersatu dengan yang dikasihi

Rindu (ya maulana)
Kembali bertemu (ya maulana)
Hatiku merindukan pemiliknya (ya maulana)
Rindu (ya maulana)
Kembali bersatu (ya maulana)
Kembali bersatu dengan kekasih

Apa Yang mesti Ku lakukan

Apa yang mesti kulakukan, O Muslim? Aku tak mengenal didiku sendiri
Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Gabar, bukan Muslim
Aku bukan dari Timur, bukan dari Barat, bukan dari darat, bukan dari laut,
Aku bukan dari alam, bukan dari langit berputar,
Aku bukan dari tanah, bukan dari air, bukan dari udara, bukan dari api,
Aku bukan dari cahaya, bukan dari debu, bukan dari wujud dan bukan dari hal
Aku bukan dari India, bukan dari Cina, bukan dari Bulgaria, bukan dari Saqsin,
Aku bukan dari Kerajaan Iraq, bukan dari negeri Korazan.
Aku bukan dari dunia in ataupun dari akhirat, bukan dari Sorga ataupun Neraka
Aku bukan dari Adam, bukan dari Hawa, bukan dari Firdaus bukan dari Rizwan
Tempatku adalah Tanpa tempat, jejakku adalah tak berjejak
Ini bukan raga dan jiwa, sebab aku milik jiwa Kekasih
Telah ku buang anggapan ganda, kulihat dua dunia ini esa
Esa yang kucari, Esa yang kutahu, Esa yang kulihat, Esa yang ku panggil
Ia yang pertama, Ia yang terakhir, Ia yang lahir, Ia yang bathin
Tidak ada yang kuketahui kecuali :Ya Hu" dan "Ya man Hu"
Aku mabok oleh piala Cinta, dua dunia lewat tanpa kutahu
Aku tak berbuat apa pun kecuali mabok gila-gilaan
Kalau sekali saja aku semenit tanpa kau,
Saat itu aku pasti menyesali hidupku
Jika sekali di dunia ini aku pernah sejenak senyum,
Aku akan merambah dua dunia, aku akan menari jaya sepanjang masa.
O Syamsi Tabrizi, aku begitu mabok di dunia ini,
Tak ada yang bisa kukisahkan lagi, kecuali tentang mabok dan gila-gilaan.

Kematianku

Aku mati sebagai mineral
dan menjelma sebagai tumbuhan,
aku mati sebagai tumbuhan
dan lahir kembali sebagai binatang.
Aku mati sebagai binatang dan kini manusia.
Kenapa aku harus takut?
Maut tidak pernah mengurangi sesuatu dari diriku.

Sekali lagi,
aku masih harus mati sebagai manusia,
dan lahir di alam para malaikat.
Bahkan setelah menjelma sebagai malaikat,
aku masih harus mati lagi;
Karena, kecuali Tuhan,
tidak ada sesuatu yang kekal abadi.

Setelah kelahiranku sebagai malaikat,
aku masih akan menjelma lagi
dalam bentuk yang tak kupahami.
Ah, biarkan diriku lenyap,
memasuki kekosongan, kasunyataan
Karena hanya dalam kasunyataan itu
terdengar nyanyian mulia;

"Kepada Nya, kita semua akan kembali"

Ia berkata, "Siapa itu berada di pintu?"
Aku berkata, "Hamba sahaya Paduka."
Ia berkata, "Kenapa kau ke mari?"
Aku berkata, "Untuk menyampaikan hormat padamu, Gusti."
Ia berkata, "Berapa lama kau bisa bertahan?"
Aku berkata, "Sampai ada panggilan."
Aku pun menyatakan cinta, aku mengambil sumpah
Bahwa demi cinta aku telah kehilangan kekuasaan.
Ia berkata, "Hakim menuntut saksi kalau ada pernyataan."
Aku berkata, "Air mata adalah saksiku, pucatnya wajahku adalah buktiku."
Ia berkata, "Saksi tidak sah, matamu juling."
Aku berkata, "Karena wibawa keadilanmu mataku terbebas dari dosa."
Syair religius di atas adalah cuplikan dari salah satu puisi karya penyair sufi terbesar dari Persia, Jalaluddin Rumi. Kebesaran Rumi terletak pada kedalaman ilmu dan kemampuan mengungkapkan perasaannya ke dalam bahasa yang indah. Karena kedalaman ilmunya itu, puisi-puisi Rumi juga dikenal mempunyai kedalaman makna. Dua hal itulah --kedalaman makna dan keindahan bahasa-- yang menyebabkan puisi-puisi Rumi sulit tertandingi oleh penyair sufi sebelum maupun sesudahnya.

"Jalalludin Rumi"

No comments: